Lanjutan Tafsir surat al waqi'ah Olek KH Abdul Hasib Hasan (4) إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا (5) وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا (6) فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا 4. Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya. 5. Dan gunung-gunung dihancurleburkan sehancur-hancurnya. 6. Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan. "Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya." Bumi adalah segala sesuatu yang berfungsi sebagai fondasi, seperti tanah misalnya. Kata rajja berarti mengguncangkan. Setiap orang menginginkan stabilitas atau kemapanan, entah dalam rumah, pergaulan dan hubungan, atau dalam perekonomian. Akan tetapi, orang-orang yang mencari stabilitas mutlak mengetahui bahwa yang demikian itu hanya dijumpai bila ada keimanan dan ketawakalan kepada Allah. Segala jenis stabilitas lainnya bersifat relatif. Sekalipun hal itu mungkin berlangsung selama hayatnya masih dikandung badan, sang pencari kebenaran pun mengetahui bahwa dunia dan alam semesta sesungguhnya tengah menempuh perjalanan, dan bahwa fondasi yang dijadikannya untuk membangun keamanan relatifnya bisa saja terguncang dan dicabut dari dirinya. Sewaktu mengalami guncangan, fondasi relatif yang rapuh, setelah memenuhi tujuannya dalam siklus penciptaan ini, sudah berakhir. Bagi seseorang yang tengah menempuh jalan itu, kesengsaraan seperti itu dipandang sebagai bukti langsung cinta Tuhan Yang Mahabenar kepada dirinya. Karena itu, ia pun mencari fondasi yang lebih baik hingga ia menemukan fondasi sejati dari segala fondasi. Massa yang padat, yang mencapai keseimbangan sesudah bumi menjadi dingin, dengan memberinya stabilitas relatif, akan hancur beterbangan dan berhamburan menjadi debu. Orang beruntung yang memiliki intelek mulai menyadari bahwa apa yang dipahaminya sebagai ketangguhan fondasinya hanya ada dalam benaknya saja. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi, entah kesehatan, kekayaan, maupun anak-anak. Sesudah hal itu diketahui, kesadaran, kesegeraan, dan urgensi pencarian kebenaran menjadi kesibukan utama dalam kehidupannya, dan seluruh aspek lainnya menjadi sekunder dan, karenanya, bisa diterima kefanaannya. Setelah fondasinya diguncang dan dihancurkan, terbangunlah sebuah fondasi yang baru dan lebih kuat. Ukuran hal-hal duniawi berpijak pada faktor-faktor waktu spesifik yang sangat berbeda bila ada keberpalingan hati, yang menimbulkan perubahan situasi seseorang. Ini adalah masalah sikap. Dihalaunya hati dari dunia ini memang benar-benar sebuah peristiwa besar. Ini adalah pengantar menuju pengalaman tentang kehidupan sesudah mati. Maka, hati pun tercerabut sepenuhnya dan memasuki keadaan melampaui kebebasan. Sebab, kebebasan hanya bermakna karena ada belenggu. Manusia mampu memahami keadaan ini secara intelektual dan eksperiensial hingga berbagai tingkatan kejelasan. Misalnya saja, berbagai realitas kasatmata yang paling solid dalam kehidupan ini adalah gunung-gunung yang melabuhkan jubah bumi. Jika entitas-entitas yang dipandang paling solid ini bisa dibebaskan, maka perhatikan hal-hal yang sama rapuhnya dengan segenap pergaulan atau pemikiran. "Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan." Ketika peristiwa akhir itu terjadi, ada aliran-aliran pasti yang ke dalamnya setiap orang dipisahkan. Dalam dunia ini, aliran-aliran itu tidak diuraikan dengan jelas karena kita mempersepsikan segala sesuatu dalam berbagai tingkatan relatif, dan relativitas itu mengaburkan berbagai uraian itu.
Repost by : Ustadz Undang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar