Senin, 18 April 2016

ATM 19 April 2016

TAFSIR SURAH AL-WAQI'AH AYAT 15-16

Oleh KH. Abdul Hasib Hasan

عَلَىٰ سُرُرٖ مَّوۡضُونَةٖ ١٥
15. Mereka berada di atas dipan bertahtakan emas dan permata.
مُّتَّكِ‍ِٔينَ عَلَيۡهَا مُتَقَٰبِلِينَ ١٦
16. Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.

Akar kata surur (tahta) adalah dari sarra, yang berarti membuat bahagia, mempercayakan rahasia, menyembunyikan sesuatu. Darinya muncul banyak kata yang membentuk pola makna menarik. Kata surur bermakna kebahagiaan, yang menyiratkan bahwa sumber kebahagiaan adalah suatu rahasia yang hanya bisa dibisikkan kepada diri sendiri. Itulah rahasia dari segala rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Jika seseorang bahagia, maka kebahagiaan itu sendiri adalah penjelasan tentang keadaan tersebut. Akan tetapi, orang tidak bisa memberikan sumber itu kepada orang lain. Ini berkaitan dengan tingkat kesadaran lainnya.

Kesenangan adalah sesuatu yang dapat dibagi dan dibeli. Kesenangan berkaitan dengan berbagai keterikatan dan juga merupakan sesuatu yang bersifat duniawi, sementara surur, kebahagiaan, hanyalah demi kepentingannya sendiri. Burung bernyanyi, karena sifat alamiahnya memang bemyanyi, tak peduli apakah ada pemburu yang sedang mengintainya atau apakah tetangganya memberinya makanan tambahan. Kesenangan adalah hasil dari sesuatu yang telah terjadi.
Ada seseorang kesepian dan kemudian ia menemukan seorang sahabat yang bersedia mendengar dan menanggapi apa yang diyakininya—inilah kesenangan. Ada seseorang lapar; perutnya kosong, dan kemudian ada makanan—itulah kesenangan. Kesenangan bagaikan netralisasi: kutub positif dan negatif bertemu sehingga dan kemudian dinetralisasi.

Kegembiraan adalah sesuatu yang lain lagi; ia adalah penangkal dari kutub negatif. Kegembiraan terjadi ketika apa yang dianggap menyenangkan sudah diketahui sebagai ilusi (wahm). Penangkal kutub negatif adalah kutub positif, dan inilah keadaan normal manusia. Karena alasan inilah manusia secara inheren mencari kebahagiaan.
 Ia mengetahui kesenangan; ia tahu bahwa kebahagiaan dapat dibeli, tetapi ia tidak mengetahui cara menuju kebahagiaan itu. Manusia mencari kebahagiaan karena memang itulah sifat alamiahnya. la tidak bahagia karena ia berkali-kali mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia memerlukan sesuatu agar bisa bahagia. Ia selalu memburunya. Akan tetapi, begitu ia sudah memperolehnya, ia pun menginginkan sesuatu yang lain.

Pintu menuju rumah kebahagiaan adalah pengetahuan tentang bagaimana menguraikan ikatan yang telah dibuat seseorang. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sumber kebahagiaan itu adalah rahasia dari segala rahasia. Sesuatu yang diinginkan dengan sendirinya adalah sebuah wahm. Pengetahuan tentang wahm menjadi penangkal baginya.
 Dan jika penangkalnya itu memang murni, maka akar kebahagiaan itu dipupuk dari dalam. Itulah tanah subur tempat pohon kepuasan akan tumbuh. Kepuasan adalah sebuah pohon yang tidak bisa ditanamkan pada orang lain. Seseorang harus memupuk dan menumbuhkannya dengan segenap usaha dan jerih payahnya sendiri.

Sebenarnya sudah ada kepuasan yang inheren dalam dalam diri makhluk seperti burung. Akan tetapi, manusia memiliki kesadaran tentang kepuasan itu. Selanjutnya, manusia memiliki cahaya kesadaran dari kesadaran. Ini mengukuhkan manusia sebagai makhluk paling luhur dan termulia. Manusia sadar akan kesadaran tentang kebahagian. Manusia juga sadar akan kesadaran tentang ketidakbahagiannya.

Surur tidak bisa diwariskan, tetapi harus diperoleh dengan usaha dan jerih payah. Jika seseorang telah mengetahui cara untuk mendapatkannya, maka ia akan terus mencarinya sepanjang hayat masih dikandung badan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan waktu atau tempat. Sering kali seseorang yang bodoh kembali ke danau atau puncak gunung tempat ia berlibur atau mengalami masa indah, seraya berpikir bahwa ia akan mampu menghadirkan kembali perasaan bahagia dalam hatinya. Ia merindukan kebahagiaan.
Pencarian menyimpang ini dijumpai dalam jiwa orang-orang seperti artis atau komponis. Dalam riwayat hidup orang-orang gila ini, seseorang akan menemukan bahwa mereka sering kali kembali ke
gunung yang sama dengan maksud untuk menjalani sisa hidup mereka dalam suatu ilusi romantis agar mereka bisa menghadirkan kembali momen-momen kreatif mereka. Akan tetapi, momen-momen kreatif adalah momen-momen keterputusan dari dunia ini.

Ini terjadi begitu saja bahwa ia berada di puncak gunung itu. la merindukan momen kebahagiaan yang telah dialaminya tetapi tak bisa dihadirkan kembali. la mengira bahwa kebahagiaan itu bisa digambarkan, padahal tidaklah demikian halnya. "Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan jalan orang-orang yang sesat" (QS 1:7). Perhatikan apa saja yang menyusahkan Anda dan menjauhkan Anda dari kebahagiaan: keterikatan, harapan, nafsu, dan rasa takut—waspadalah terhadap semuanya ini dan Anda akan berada dalam surga.

Akar kata surur juga berkaitan dengan kata yang bermakna pemotongan ari-ari bayi yang baru lahir. Hal ini menjadi kebahagiaan, karena sang anak sudah tidak bergantung lagi pada "rahim." Pemotongan ari-ari itu mengawali kemandirian lahiriahnya dan mengantarkannya menuju kemungkinan untuk memahami bahwa ia bergantung hanya kepada Allah. Inilah awal dari sebuah perjalanan kebahagiaan yang di dalamnya sang anak mulai mengetahui bahwa ia adalah "anak" dari Zat Yang Mahabenar dan Yang Mahahakiki dan bahwa ia lahir karena rahmat Allah, sementara sang ibu hanyalah alat tempat ia dititipkan sebelum lahir.
Potensialitas kehidupannya sebelum pembuahan ada dalam pengetahuan Allah dan menjadi suatu ekspresi, suatu manifestasi. Sarîr (tahta, ranjang, bentuk tunggal dari surur) adalah simbol kelegaan atau keterlepasan dari segala gangguan luar dan juga sarana menuju kebahagiaan. Ini memungkinkan seseorang untuk bersantai dan merasakan kebahagiaan, suatu keadaan yang tenang. "Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan." Sambil bersandar di tempat duduk itu, orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) itu tidak merasa gelisah. Mereka merasa rileks atau santai.

Kata mutaqâbilîn (berhadap-hadapan) berasal dari kata taqâbala yang bermakna bertemu, saling berhadapan. Mereka pun saling melihat bayangan mereka satu sama lain. Mereka melihat orang lain yang juga seperti diri mereka sendiri. Mereka melihat penampilan yang berulang-ulang, yakni hologram. Akar katanya adalah qabala, yang berarti menerima; kata qiblah, yang berasal dari akar kata yang sama, berarti arah yang dituju seseorang; qâbilah adalah seorang ibu rumah tangga, orang yang menghadapi dan merawat sang bayi.

➖➖➖

Tidak ada komentar:

Posting Komentar